Jalanan macet, Otak tidak perlu ikut macet

Jakarta saat ini sedang dihadapkan pada bencana banjir tahunan. Saya masih ingat, setahun lalu di awal bulan Januari yang masih terbawa euphoria pergantian tahun, terjadi kehebohan bencana banjir. Persis sama, tahun ini peristiwa itu terjadi lagi.

Debit air yang turun, curah hujan yang tinggi, alami terjadi. Maha Kuasa mengaturnya dengan berbagai kehendak yang saya yakin telah direncanakan dengan matang. CiptaanNya ini yang terkadang terlena akan anugerah yang dirasa bisa dan berhak dinikmati. Menjadi lupa untuk bersikap lebih bijak agar bencana yang tidak perlu terjadi itu menjadi ada. Bahkan lupa untuk bahkan bersikap bijak ketika peristiwa yang ‘katanya’ merugikan mereka terjadi, tetapi malah lebih senang menjadi para produsen komentar dengan list panjang caci maki sambil tetap diam tanpa ada aksi.

Hari ini, lagi-lagi selain hujan, Jakarta juga dihebohkan dengan berita macet. Entah macet yang disebabkan oleh banjir atau bukan. Yang pasti, saya melihat beberapa pengguna jalan mulai mau berjalan kaki dengan jarak yang masih relevan ditempuh. Cukup senang mendengarnya karena memang jarak jalan yang relevan seharusnya bisa ditempuh dengan kedua kaki ini. Jika jalanan macet, apakah otak kita juga ikut macet untuk berpikir sekedar lebih bijak? Mengingat bahwa pengguna jalan bukan hanya kita, tetapi jutaan lainnya yang berjejal bersusah payah di jalan. Lebih baik kita membantu Pemerintah berbenah diri menciptakan trotoar ‘kosong’ menjadi lebih nyaman lagi. Tidak perlu drama untuk sekedar berjalan kaki, itu menyehatkan bila ruang kota kita meminimalisir jumlah kendaraan bermotor.

Hari-hari ini, Jakarta seperti memiliki banyak cermin bagi saya. Mereka yang berteriak, mereka perlu cermin. Mereka yang diam, pun butuh cermin. Mari mengubah pikiran tanpa perlu drama dan ego. Lebih banyak berjalan kaki, menciptakan ruang kota yang minim polusi, dan akhirnya menjadi nyaman dengan kedua kaki. Mari berdoa, bukan untuk bencana ini-itu saja, tetapi bencana pola pikir yang menghiasi batas ego para manusia Jakarta.